Articles by "Pendidikan"
Tampilkan postingan dengan label Pendidikan. Tampilkan semua postingan
Pendidikan Tak Mengenal Libur
Masa libur sekolah dimanfaatkan sebagian keluarga untuk mengajak putra putrinya berlibur. Terkadang liburan telah direncanakan jauh hari sebelumnya. Berbagai bekal dipersiapkan. Tak terkecuali bekal keuangan yang memadai. Bagi yang tak bepergian berlibur, mungkin akan menghabiskan waktunya di rumah. 

Ada yang bermalas-malasan. Bangun tidur kesiangan dan berbagi bentuk lainnya. Semuanya seakan menandakan bahwa masa libur lepas dari pernak-pernik pendidikan.

Pendidikan sebenarnya tidak mengenal masa libur. Pendidikan melekat pada setiap diri sepanjang nafas masih berhembus. Pendidikan sering kali direduksi pada pendidikan di sekolah saja. Perlu diingat kembali bahwa pendidikan meliputi pendidikan formal yakni persekolahan, pendidikan non-formal yang membekali pesertanya dengan pengetahuan dan keterampilan khusus, serta pendidikan informal yang dilangsungkan dalam keluarga dan lingkungan.

Peran pendidikan informal juga sangatlah penting. Ia merupakan pendidikan utama sekaligus penyangga pendidikan lainnya. Penanaman karakter yang tengah digiatkan di persekolahan haruslah didukung pula dalam keluarga dan masyarakat termasuk di masa libur.

BACA JUGA:
Karakter disiplin, religius, peduli lingkungan dan lainnya yang ditanamkan selama mengikuti pembelajaran di sekolah tentu penerapannya selama masa libur pun perlu berkesinambungan. Namun saat berwisata dimasa libur, kerab kali kita menemukan tumpukan sampah pengunjung. 

Pembiasaan membuang sampah di tempatnya di sekolah tak lagi diindahkan. Memang terasa aneh. Sampah yang berserakan tersebut tak jarang dari orang-orang bersekolah. Bukankah di sekolah telah diajarkan membuang sampah dengan benar? Menurut penulis, kebiasaan ini dapat menjadi salah satu penanda suksesnya bersekolahnya seseorang. Bukankah segala yang besar dimulai dari yang kecil?

Disiplin waktu yang telah dilatihkan dalam persekolahan janganlah sampai terbengkalai karena adanya pembiaran selama masa libur. Anak dibiarkan bermain game seharian tanpa mengindahkan jadwal ibadahnya. Tugas-tugas mandirinya terlewatkan. Pembiaran indisipliner inilah yang membuat anak merasa berat untuk kembali bersekolah, khususnya di hari-hari pertama masuk kembali sekolah.

Sebaliknya, guru pun harus berupaya menciptakan suasan pembelajaran yang menyenangkan layaknya berlibur. Sebagaimana dikemukakan diatas bahwa berlibur menjadi asyik karena dimulai dari perencanaan yang matang, bekal yang cukup dan pengalaman-pengalaman baru. Pembelajaran pun selayaknya demikian. 

Selain direncanakan dengan baik, bekal materi yang cukup, juga perlu membawa anak dalam pengalaman belajar yang mengesankan dengan berbagai inovasi kreatif guru yang tentu juga perlu perencanaan. Masa libur dapat pula dimanfaatkan dalam meningkatkan budaya literasi anak. Berbagai hal yang menarik perhatian anak dapat menjadi pemicu berpikir kritis. Berpikir kritis sangat dibutuhkan dalam era informasi digital.

Hal-hal yang menarik perhatian anak dapat pula dituliskan hingga menjadilah tulisan yang menarik untuk dibaca. Menulis menggunakan alat tulis di masa libur mungkin akan kerepotan. Tapi kini penggunaan teknologi informasi yang dibenamkan di gadget dapat memudahkan.

Dengan mengguna kan aplikasi Menemubaling (Menulis dengan mulut membaca dengan telinga) yang dikembangkan Mampuono, Sekjen IGI, menulis dapat semudah berbicara. Perangkat yang dapat diundah secara gratis pada playstore tersebut, dapat dengan mudah digunakan. Dengan membiasakan menulis, termasuk dimasa libur sekolah, maka budaya literasi dapat terus tumbuh subur. Pendidikan anak pun tidaklah libur.

Artikel ini merupakan opini yang ditulis oleh Musakkir, Ketua Ikatan Guru Indonesia Kabupaten Tana Tidung dan merupakan salah satu penulis aktif di Jaringan Media Radio Nasional.

EDITOR : ANDRI ARIANTO
Anggaran Sama
Batam, JMRN - Pemerintah Indonesia menganggarkan 20% alokasi dana dari APBN-P tahun 2017 atau sekitar Rp 426 Triliun untuk pendidikan Indonesia. Anggaran yang sama dengan budget yang di keluarkan oleh pemerintah Vietnam. Pemerintah Vietnam juga menganggarkan dananya sebesar 20% untuk pendidikan di negrinya. Namun, walaupun Indonesia dan Vietnam sama-sama mengalokasikan dananya sebesar 20%, hasil yang di dapat untuk kualitas pendidikannya sangatlah berbeda. Karena meskipun anggaran sama, kualitas pendidikan RI Kalah jauh dari Vietnam.

Miris ya memang, karena dengan budget yang sama Indonesia memiliki kualitas yang sangat jauh dari Vietnam. Pada penilaian tiga indikator pendidikan yang meliputi pengetahuan alam, matematika dan membaca, Indonesia hanya mampu berada di peringkat 53 sedangkan Vietnam dapat menduduki peringkat 8. Sungguh perbedaan yang jauh bukan?

Ketertinggalan Indonesia dalam bidang pendidikan dibandingkan dengan Vietnam memang menjadi sebuah pertanyaan. Pasalnya anggaran yang telah dialokasikan memang terbilang cukup besar, namun hasil yang di dapatkan tidak sepadan dengan jumlah pengeluaran.

Untuk saat ini fungsi pendidikan di Indonesia memang sudah didelegasikan pada tiap-tiap daerah. Jadi, untuk masalah peningkatan pada kualitas pendidikan memang tergantung bagaimana daerah tersebut mengelola dan mencanangkan kurikulum yang akan di berlakukan.

Namun permasalahan lainnya adalah meskipun jumlah guru yang ada di Indonesia sudah terbilang memadai, tapi ternyata yang memenuhi kualifikasi menjadi seorang guru hanyalah sebesar 25% nya saja. Ini menjadi tugas bagi mentri pendidikan untuk menentukan dan menetapkan mana guru yang berkualitas dan mana yang tidak. Agar segi pendidikan dari Indonesia dapat di perbaiki lagi.

Faktor faktor lain yang menyebabkan pendidikan di Indonesia jauh tertinggal dari Vietnam terangkum dalam 4 poin dibawah in:

1.    Anggaran Tidak Tepat Sasaran

Memang anggaran yang di keluarkan oleh pemerintah terbilang cukup besar, namun kok masih belum bisa meningkatkan kualitas pendidikannya? Hal ini mungkin saja karena anggaran memang tidak tepat sasaran. Bukan tidak mungkin anggaran yang telah ada justru potong sana, potong sini sehingga anggaran yang benar-benar untuk pendidikannya hanyalah beberapa persen saja.

Korupsi yang masih menjadi permasalahan di Indonesia pun tidak di tindak secara tegas dalam hukumnya sehingga memang cukup wajar jika alokasi dana pendidikan tidak pernah tepat sasaran.

2.    Infrastruktur Yang Kurang Mendukung

Walaupun dananya sudah besar, namun nyatanya infrastruktur yang ada masih banyak yang kurang memadai terutama untuk sekolah-sekolah yang ada di pelosok dan di bagian timur. Bukan hal baru pula bahwa masalah ini sering menjadi sorotan televisi. Namun sepertinya, pemerataan dari pendidikan dan infrastruktur yang memadai memang belum bisa terlaksana sepenuhnya. Seperti halnya ekonomi, pendidikan Indonesia juga masih terpusat pada kota-kota besarnya saja.

3.    Pendidikan Tidak Sepenuhnya Gratis

Walaupun pemerintah sudah mencanangkan wajib belajar dan pendidikan gratis. Hal ini ternyata belum lah terlaksana sepenuhnya. Banyak dari anak usia sekolah yang justru memilih untuk berhenti bersekolah dan memilih untuk mencari nafkah.

4.     Kurang Efektifitasnya Metode Pengajaran

Kreatifitas guru dalam mengajar juga merupakan faktor yang membuat siswa semangat untuk belajar. Namun sepertinya walaupun kurikulum sudah di perbarui, efektifitas metode pengajaran masih belum terasa.

Tapi tak menungkiri juga bahwa saat ini sudah banyak guru yang memiliki metode pengajaran cukup efektif dan juga kreatif.

Tentunya menjadi sebuah tanggung jawab pemerintah dalam memajukan pendidikan Indonesia. Namun, terlepas dari itu, kualitas pendidik juga sangat perlu untuk di perhatikan agar efektifitas dalam penggunaan anggaran tidak menjadi sia-sia dengan menciptakan tenanga pendidik yang terintegritas.

REDAKSI | ***
EDITOR : ANDRI ARIANTO
S
Saat kampanye Pilpres 2014 lalu Capres Jokowi berjanji secara lisan bidang politik luar negeri (PLN) terbatas:  "Mendukung kemerdekaan dan mendirikan KBRI di Palestina".  Namun, hingga kini Jokowi baru mendirikan Konsulat Kehormatan RI, bukan  KBRI, di Ramalah.

Selanjutnya, Jokowi janji akan persulit investasi asing dan  mengoptimalkan kemampuan rakyat. Janji ini kemudian diingkari, terbukti Jokowi justru menjanjikan kemudahan perizinan seperti di forum APEC,  G20 dan lain-lain.

Janji kampanye ini dipertegas pada Janji Tertulis dalam Visi,Missi dan Program Kerja dgn konsep Nawa Cita. Disebutkan, akan  menghadirkan negara untuk melindungi bangsa dan memberikan rasa aman kepada seluruh warga negara, melalui PLN bebas aktif, keamanan nasional yang terpercaya, pembangunan pertahanan dilandasi kepentingan nasional, dan memperkuat jati diri sebagai negara maritim.

PLN akan digunakan  sebagai usaha untuk meningkatkan ketahanan nasional dan mewujudkan agenda pembangunan.

Setelah menjabat sbg Presiden, Jokowi memutuskan sasaran PLN  Indonesia yakni terwujudnya kepemimpinan dan peran Indonesia dlm kerjasama internasional.

Berdasarkan sasaran itu ditetapkan Agenda 2015-2019 yakni:  

1.  Penanganan perbatasan;
2.  Pemantapan peran Indonesia di ASEAN; 3.Penguatan diplomasi ekonomi;
4.  Peningkatan kualitas perlindungan hak dan keselamatan WNI/BHI di luar negeri khususnya  
     perlindungan terhadap TKI; dan,
5.  Peran Indonesia dlm kerjasama bilateral, regional dan global (RPJMN 2014-2019).

Kini Jokowi telah lebih 3 tahun sebagai  Presiden. Berhasilkah  Jokowi mencapai sasaran dan agenda tsb?

Satu parameter kinerja Jokowi urus PLN adalah  penanganan masalah  perbatasan  Indonesia dgn 10 negara tetangga. Parameter ini jelas menunjukkan Jokowi masih gagal dan berkinerja buruk.  Tidak ada satupun tercapai.

Indonesia memiliki perbatasan maritim dgn 10 negara: India, Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, Filipina, Palau, Papua Nugini, Australia, Timor Leste, serta perbatasan darat dgn 3 negara, yaitu Papua Nugini, Malaysia dan Timor Leste. Di  era Presiden SBY telah selesai  penetapan batas darat dgn Papua, sementara  dgn Timor Leste dan Malaysia hanya  sebagian besar

Parameter berikutnya adalah pemantapan peran Indonesia di ASEAN. Di kancah ASEAN, kinerja Jokowi tergolong  buruk. PLN Jokowi  masuk ke kancah ASEAN masih urusan ekonomi semata. Tidak masuk urusan politik keamanan.  Padahal di ASEAN sendiri, Indonesia menghadapi tantangan di bidang politik  keamanan seperti konflik di Marawi, Rohingya, Laut China Selatan, dll.  Urusan politik keamanan ini jelas lebih susah utk cari penyelesaian ketimbang urusan ekonomi.

Selain itu, kini terjadi kevakuman kepemimpinan di ASEAN. Sebabnya,  Indonesia sebagai negara dgn  kepemimpinan diakui secara alami kurang mampu merepresentasikan ASEAN dalam forum-forum multilateral.

Jokowi tidak menjadikan ASEAN sebagai pijakan utama dlm PLN. Jokowi tidak menempatkan ASEAN sebagai prioritas dlm PLN  Indonesia. Indonesia tidak lagi berperan sebagai pemimpin di Asia Tenggara. Lebih  memprioritaskan urusan kepentingan investasi, utang dan infrastruktur.

Parameter lanjut yakni penguatan diplomasi ekonomi, difokuskan utk mendukung penghapusan non-tariff barrier dlm perdagangan pasar utama dan pembukaan pasar prospektif, al: di kawasan Eropa Timur, Eropa Tengah, Afrika Utara, Afrika Barat, Afrika Selatan, Sub-Sahara Afrika, Amerika Utara, Amerika Latin dan Asia.

Diplomasi ekonomi ini dipraktekkan Jokowi pd KTT APEC di Beijing (2015), KTT ASEAN ke-25 di Myanmar, KTT G20 di Australia, Forum G20 di RRC (2016). Jokowi memanfaatkan forum2 ini utk menggalang kerjasama ekonomi, terutama infrastruktur.

Ada tiga tujuan diplomasi ekonomi Jikowi: 1. Menarik investasi asing; 2. Membuka pasar luar negeri; 3. Mendatangkan touris asing. Parameter ini belum tercapai sukses.

Parameter lain yakni peningkatan kualitas perlindungan hak dan keselamatan WNI/BHI di luar negeri. Khusus parameter ini bisa membantu penilaian kesuksesan Jokowi dan baik. Berdasarkan Laporan 3 Tahun Pemerintahan Jokowi-JK", Kemlu (Kementerian Luar Negeri)  mencatat telah menyelesaikan 27.341 kasus; membebaskan 144 WNI dari ancaman hukuman nati; melakukan repatriasi 181.942 WNI bermasalah termasuk overstayers; evakuasi 16.426 WNI dari berbagai wilayah konflik,perang dan bencana akan; dan, membebaskan 31 sandera WNI dari Filipina dan Somalia. Juga mengembalikan hak finansial WNI di luar negeri Rp. 388 miliar melalui pendampingan hukum oleh Perwakilan.

Data, fakta dan angka ini diklaim Menlu sebagai capaian 3 tahun PLN Indonesia era Jokowi. Namun, tidak ada  data,  fakta dan angka maraknya (lebih 3 kali) penculikan WNI di perairan Sabah, Malaysia dan Sulu, Filipina Selatan. 

Parameter terakhir yakni peran Indonesia dlm kerjasama bilateral, regional dan global. Dari parameter ini ada kemajuan Jokowi.  Ada partisipasi dalam forum APEC, KTT ASEAN, dan KTT G-20.

Tapi, Jokowi   menggunakan forum-forum tsb untuk menarik investasi asing, membuka pasar luar negeri dan mengundang lebih banyak turis asing ke Tanah Air. Jokowi meminta  perwakilan RI di luar negeri  ikut memasarkan produk Indonesia.

Terkesan Jokowi selama ini tidak memprioritaskan PLN,  lebih menaruh perhatian urusan ekonomi:  investasi, utang dan  infrastruktur. Fakta lain,  Jokowi lebih utamakan  urusan ekonomi   di dalam  sejumlah perundingan  penting, al:  Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA), Free Trade Agreement (FTA), Preferential Trade Agreement (PTA), Bilateral Investment Treaty (BIT).

Dari politik keamanan, peran Indonesia memudar dalam mewujudkan perdamaian dunia seperti diamanatkan Pembukaan UUD 1945. Pada  alinea I dan alinea IV dijelaskan dasar hukum pelaksanaan PLN  Indonesia.  Indonesia sebagai Negara merdeka dan berdaulat berhak menentukan nasib sendiri serta  mengatur hubungan kerjasama dengan Negara lain.

Pengertian PLN Indonesia terdapat di dalam UU No. 37 Tahun 1999 Pasal 1 ayat (2), yakni kebijakan, sikap dan langkah Presiden Jokowi  diambil dalam melakukan hubungan dengan Negara lain, organisasi internasional dan subyek hukum internasional lain dalam rangka menghadapi masalah internasional guna mencapai tujuan nasional. Berdasarkan konstitusi, Presiden Jokowi harus menerapkan kebijakan luar negeri disebut politik bebas-aktif. Maknanya, Indonesia bebas menentukan sikap berkaitan dengan dunia internasional, tidak memihak kepada salah satu blok. Aktif, maknanya ikut memberikan sumbangan baik dalam bentuk pemikiran maupun menyelesaikan berbagai konflik dan permasalahan dunia. Aktif menunjukan adanya kewajiban Presiden Jokowi  menunaikan amanat UUD 1945 untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Kondisi kinerja Jokowi buruk urus PLN dapat ditunjukkan, kecenderungan menitikberatkan PLN untuk urusan perdagangan dan investasi. Hal akan berisiko pada dimensi keamanan dan politik. Jokowi harus sangat sadar, suatu   negara berpotensi terjebak dalam hubungan  asimetris. Karena itu, Jokowi   harus berhati-hati agar Indonesia tidak bergantung kepada negara lain karena akan merusak ekonomi strategis.

Jokowi
3 kali berturut-turut absen di  Sidang Majelis Umum PBB. Hal ini sungguh buruk   mengingat saat ini Indonesia sedang berjuang menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB.

Di sisi lain, fokus Jokowi dalam mengelola hubungan dengan negara-negara besar seperti Cina, AS dan Jepang bisa berpotensi menjadi bumerang bagi keutuhan NKRI.

Jokowi juga sangat kurang  memelihara hubungan dengan negara-negara tetangga di Kepulauan Pasifik. Padahal  dua tahun terakhir perwakilan negara-negara Pasifik mengangkat issu tentang ketimpangan dan konflik  dialami saudara-saudara mereka di Papua yang dapat memicu perpecahan bangsa atau disintegrasi nasional.

Di sisi peran diplomasi politik, ternyata Jokowi sangat lemah. Sebagai aktor individual sangat kurang  memainkan peran diplomasi politik. Padahal diplomasi politik ini sangat penting untuk  bernegosiasi mewakili kepentingan nasional Indonesia.

Jokowi bukanlah aktor PLN  sehingga lemah   untuk mengangkat nama Indonesia di forum2 internasional. Sementara, peran diplomasi politik lebih banyak diserahkan kepada Menlu, yg tentu saja pengaruhnya lebih rendah.

Artikel ini merupakan opini yang ditulis oleh Muchtar Effendi Harahap, Ketua Tim Studi Network for South East Asian Studies atau disingkat NSEAS dan merupakan penulis aktif di Jaringan Media Radio Nasional.

EDITOR : ANDRI ARIANTO
Jambi, RN - Sekolah sawit adalah sekolah yang bertujuan untuk memberikan pemahaman kepada siswa tentang pengelolaan kebun sawit. Hal ini lantaran untuk menyikapi dan mempersiapkan petani generasi ke dua bagi perkebunan kelapa sawit. Sekolah sawit sendiri merupakan program tanggung jawab sosial dari perusahaan Asian Agri yang bekerja sama dengan lembaga pendidikan formal dari SD, SMP, SMA, SMK dan pemerintah daerah setempat. Sekolah sawit pertama kali di luncurkan pada tahun 2016 dan bekerja sama dengan pihak SMAN 11 Batanghari.

Sekolah sawit masuk ke dalam muatan lokal yang membahas tentang pengelolaan lanjutan dari kelapa sawit baik bagi siswa maupun orang tua. Karena nantinya perkebunan kelapa sawit yang kebanyakan berada di daerah Sumatera akan di teruskan kepada generasi selanjutnya.

Dengan menanamkan sekolah sawit dalam sistem pendidikan muatan lokal, diharapkan siswa dapat mendukung orang tuanya melalui praktik terbaik nantinya. Sementara pihak dari Asian Agri yakni Head of Sustainability Operation & CSR mengharapkan dengan peresmian program sekolah sawit akan menciptakan dan menjadikan lingkungan perkebunan kelapa sawit yang lestari dengan dimulainya menanamkan pendidikan dan pengetahuan melalui sekolah yang dibagikan kepada siswa dan masyarakat.

Sedangkan baru baru ini, sekolah sawit kembali diluncurkan pada tanggal 19 Desember 2017 pada hari selasa dengan memilih SMKN 1 Pangkalan Kerinci sebagai tempat program pembelajaran sekolah sawit.

SMKN 1 Pangkalan Kerinci dipilih lantaran prestasi yang ada memiliki pengaruh positif di lingkungannya. Selain itu, SMKN 1 juga memiliki berbagai jurusan program studi yang berhubungan dengan perkebunan sehingga dirasa cocok untuk penempatan program pembelajaran sekolah sawit.

Materi dari sekolah sawit merupakan program muatan lokal yang diharapkan berwawasan lingkungan.

Nantinya bagi sekolah yang terdapat program pembelajaran sekolah sawit akan mengajarkan kepada para siswanya tentang menanam, merawat dan juga memanen kelapa sawit secata optimal. Program dari sekolah sawit sendiri sebenarnya hanyalah berisi materi yang merupakan program pengenalan.

Selain SMKN 1 Pangkalan Kerinci, sekolah sawit sebelumnya juga pernah di luncurkan di Jambi dan Riau. Juga kembali di luncurkan pada tanggal 22 Desember 2017 di SMKN 1 Silangkitang.

Pemilihan SMKN 2 Silangkitang sebagai tempat program pembelajaran sekolah sawit lantaran di Sumatera Utara, khususnya di Labuhan Batu Selatan memiliki potensi yang cukup besar untuk perkebunan kelapa sawit.

Program Sekolah Sawit merupakan komitmen dari perusahaan Asian Agri dalam mendukung pengelolaan kelapa sawit secara berkelanjutan. Program Sekolah Sawit sendiri merupakan program jangan panjang perusahaan.

Jadi, selama program berlangsung akan terus disusun materi tentang pengelolaan dari perkebunan kelapa sawit yang di mulai dari dasar dasar pengelolaan perkebunan, dasar dasar pengetahuan lapangan dan panduan pengetahuan praktik terbaik.

Program Sekolah Sawit benar benar di tujukan kepada seluruh warga sekolah dari siswa, guru, wali murid dan masyarakat bekerja sama dalam mengelola lingkungan.

Selain bertujuan untuk menciptakan petani handal, program pembelajaran sekolah sawit juga di tujukan untuk menciptakan perkebunan kelapa sawit yang lestari.

Saat ini program sekolah sawit sudah diluncurkan di lima sekolah dan diharapkan benar-benar menciptakan petani handal yang nantinya bisa meneruskan perkebunan kelapa sawit milik orang tua mereka dengan lebih baik dan lebih berkualitas lagi. Supaya perkebunan kelapa sawit yang lestari dan menghasilkan panen yang melimpah bisa tercapai dengan adanya tenaga terampil yang mulai di siapkan sedari dini.

REDAKSI | ***
EDITOR : ANDRI ARIANTO
Pendidikan Anak
Jakarta, RN - Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Masyarakat (BKLM), Ari Santoso mengingatkan bahwa peran orang tua sangat penting dalam perkembangan pendidikan anak-anak. Peran keluarga dan lingkungan atau komunitas masyarakat sangat penting dalam membangun sebuah ekosistem pendidikan anak yang baik.

Dalam keterangan pers yang digelar, Selasa (27/12), Ari menegaskan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) pada pasal 4 menyebutkan bahwa “Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan”.

Dengan demikian Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) terus melakukan langkah-langkah penguatan tri pusat pendidikan, yakni keluarga, masyarakat dan sekolah, agar terwujud sebuah ekosistem pendidikan yang baik.

“Melalui penguatan pendidikan karakter, pemerintah mengajak semua elemen masyarakat untuk membangun ekosistem pendidikan nasional yang baik. Tidak mungkin semua permasalahan dan tantangan pendidikan diselesaikan oleh satu pihak saja. Semangatnya bergotong royong demi Indonesia yang lebih baik,” diungkapkan Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Masyarakat (BKLM) Kemendikbud, Ari Santoso, di Jakarta.

Ari mengatakan melalui sistem zonasi sekolah yang diterapkan sejak tahun 2017, selain bermanfaat untuk melakukan perbaikan yang sifatnya fisik pada fasilitas pendidikan, juga menyasar perbaikan sistem pengawasan dan peran serta masyarakat dalam pendidikan nasional. Melalui penerapan zonasi, diharapkan bukan hanya sekolah saja yang menjadi penanggungjawab pendidikan, tetapi peran keluarga, serta peran serta komunitas masyarakat atau lingkungan dalam mendidik generasi muda bisa lebih optimal.

“Pendekatan sistem zonasi mengutamakan kedekatan wilayah antara sekolah dengan tempat tinggal. Kita berharap hal ini dapat memperkuat peran keluarga sebagai pendidik pertama dan utama, serta masyarakat sekitar dalam pengawasan, juga pembinaan generasi muda. Penguatan pendidikan karakter juga dapat dipercepat melalui pendekatan tiga pusat pendidikan seperti ajaran Ki Hajar Dewantara itu,” ujar Ari Santoso.

Ditambahkan Ari, sistem zonasi yang diterapkan melalui Peraturan Mendikbud Nomor 17 Tahun 2017 mendapatkan apresiasi dari Ombudsman Republik Indonesia (ORI). Upaya Kemendikbud mewujudkan pemerataan pendidikan tersebut salah satunya juga dilatarbelakangi rekomendasi ORI terkait isu pemerataan pendidikan. Tentunya masih banyak hal yang harus diperbaiki dan disempurnakan. Menurutnya, Kemendikbud melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah (Ditjen Dikdasmen) telah melakukan rapat evaluasi penerapan sistem zonasi dengan Dinas Pendidikan se-Indonesia.

“Kemendikbud terbuka untuk menerima masukan dari berbagai pihak. Kita juga aktif melakukan koordinasi dan klarifikasi terkait penerapan zonasi ataupun penerapan penguatan pendidikan karakter di berbagai wilayah. Hasil evaluasi akan digunakan untuk perbaikan sistem secara bertahap dan berkelanjutan,” kata Ari Santoso.

Menanggapi rilis yang disampaikan salah satu asosiasi profesi terkait pernyataan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang dianggap mengkambinghitamkan salah satu provinsi, Ari menegaskan kembali bahwa pernyataan yang menjadi sumber polemik tersebut merupakan kekeliruan pemberitaan media. Dan berdasarkan hasil mediasi dengan Dewan Pers, media yang bersangkutan pada tanggal 26 Desember 2017 telah memuat permohonan maaf kepada Mendikbud karena telah memuat pernyataan yang tidak benar. “Indonesia ini kan negeri yang sangat besar dan luas. Maka, peran serta seluruh elemen masyarakat sangat penting untuk mewujudkan pemerataan pendidikan yang berkualitas,” kata Ari Santoso.

REDAKSI | ***
EDITOR  : ANDRI ARIANTO
Bahasa
Jakarta, RN - Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa), Dadang Sunendar mengatakan, Badan Bahasa terus berupaya menjalankan amanat Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Ia mengatakan, pada UU No.24/2009 Pasal 36 ayat 3 tercantum bahwa bahasa Indonesia wajib digunakan untuk nama bangunan atau gedung, jalan, apartemen atau permukiman, perkantoran, kompleks perdagangan, merek dagang, lembaga usaha, lembaga pendidikan, organisasi yang didirikan atau dimiliki oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) melalui Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa aktif melakukan sosialisasi penggunaan bahasa Indonesia di ruang publik. Salah satu upaya yang berhasil dilakukan adalah pemberian nama “Simpang Susun Semanggi” yang sebelumnya akan diberi nama “Semanggi Interchange”. Contoh lain adalah diakomodasinya pengutamaan penggunaan bahasa Indonesia pada papan informasi di Bandara Internasional Soekarno Hatta oleh PT Angkasa Pura II.

BACA JUGA:

“Memang tantangan kami sangat tidak mudah. Di kota-kota besar, misalnya Jakarta, iklan-iklan yang menggunakan bahasa asing sangat merajalela,” ujarnya saat Taklimat Media Kilas Balik Kinerja Kemendikbud Tahun 2017 dan Rencana Kerja Tahun 2018, di Kantor Kemendikbud, Jakarta belum lama ini.

Dalam penamaan Simpang Susun Semanggi, Badan Bahasa Kemendikbud aktif berkoordinasi dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Pada tahun 2016, Badan Bahasa bertemu dengan Gubernur DKI Jakarta, Wakil Gubernur DKI Jakarta, dan para wali kota untuk mendiskusikan penggunaan bahasa Indonesia di ruang publik, salah satunya mengajukan nama “Simpang Susun Semanggi” untuk mengganti nama “Semanggi Interchange”.

“Jadi kami berupaya betul-betul agar namanya jangan berbahasa asing. Masak ikon bangsa berbahasa asing? Padahal kita ada lembaga kebahasaan yang salah satu tugasnya menjaga marwah itu,” kata Dadang.

Lebih lanjut ia menjelaskan, Badan Bahasa juga aktif berkoordinasi dengan PT Angkasa Pura II untuk menggunakan bahasa Indonesia di Terminal 3 Bandara Internasional Soekarno Hatta, khususnya pada papan informasi atau papan petunjuk. Awalnya, tutur Dadang, hampir semua papan informasi di Terminal 3 Bandara Internasional Soekarno Hatta menggunakan bahasa Inggris, dan sangat sedikit yang berbahasa Indonesia.

“Kami minta itu dibalik, dan sekarang sudah terjadi. Semua perintah atau penunjuk menggunakan bahasa Indonesia dengan karakter huruf yang lebih besar. Kemudian kalau ada bahasa Inggris, ditulis di bawahnya dengan karakter huruf lebih kecil,” ujar Dadang. Selain itu, Badan Bahasa juga mengajukan penggunaan nama “Kalayang” yang merupakan akronim dari “kereta api layang”, sebagai padanan kata dari “Sky Train” di Bandara Internasional Soekarno-Hatta.

Menurut Dadang, saat ini sudah banyak negara yang menggunakan dua bahasa dalam papan petunjuk atau papan informasi di ruang publiknya. Ia berharap Indonesia pun bisa menerapkan hal yang sama sesuai amanat UU No.24/2009. Dadang menuturkan, intisari dari undang-undang tersebut sebenarnya adalah utamakan bahasa Indonesia sebagai bahasa Negara, lestarikan bahasa daerah, dan kuasai bahasa asing. “Jadi kita diperintahkan juga untuk menguasai bahasa asing. Tapi persoalannya adalah jangan sampai tertukar. Jangan sampai rasa nasionalisme kita berkurang. Jangan sampai ruang publik kita dipenuhi oleh berbagai tulisan bahasa asing sehingga kedaulatan bahasa itu tidak terjadi. Karena bahasa Indonesia harus menjadi tuan rumah di negaranya sendiri,” kata Dadang menegaskan.

REDAKSI | ***
EDITOR  : ANDRI ARIANTO
Garut, RN - Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menyosialisasikan Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan ke dalam daerah di Indonesia. Daerah pertama yang dituju sebagai tempat sosialisasi UU Pemajuan Kebudayaan adalah Kabupaten Garut Jawa Barat.
Hari Sabtu (25/11/2017) kemarin ratusan pemangku kepentingan budaya di Garut dan sekitarnya berkumpul di Resort Sumber Alam Garut untuk melakukan sosialisasi UU Pemajuan Kebudayaan. Hadir dalam kesempatan itu Sekretaris Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemendikbud (Sesditjen Kebudayaan) Nono Adya Supriyatno, anggota Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Ferdiansyah, dan Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Garut Budi Gan Gan Gumilar.
Sesditjen Kebudayaan Nono Adya Supriyatno menjelaskan tentang UU Pemajuan Kebudayaan yang prosesnya sangat panjang sejak tahap inisiasi hingga disahkan menjadi UU. Tahap inisiasi RUU Pemajuan Budaya sudah dilakukan dari tahun 1983, namun berbagai perdebatan panjang membuat pengesahan undang-undang ini terus tertunda. "Alhamdulillah tanggal 27 Mei 2017 kemarin UU Pemajuan Budaya resmi diundangkan," kata Nono.
Nono menambahkan, UU Pemajuan Kebudayaan disahkan saat ini. Yang lebih dulu diundangkan. "Misalnya tahun 2009 kita sudah memiliki UU Perfilman, tahun 2010 lahir UU Cagar Budaya, maka UU Hak Atas Kekayaan Intelektual, dan UU Bahasa Indonesia, baru diundangkan tahun 2017 ini," tambahnya.
Saat ini Kemendikbud melalui Ditjen Kebudayaan tengah menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah dan Rancangan Peraturan Presiden sesuai amanat UU Pemajuan Kebudayaan. "Sekitar tiga bulan lagi Rancangan Peraturan Pemerintah selesai, dan kita terus melakukan sinkronisasi dengan kementerian dan lembaga terkait kebudayaan," kata Nono.
Dalam kesempatan yang sama, anggota Komisi X DPR RI Ferdiansyah mengaku gembira UU Pemajuan Budaya bisa disahkan setelah melewati proses yang sangat panjang. Ferdiansyah juga menekankan haluan pembangunan yang disebut sebagai haluan pembangunan nasional.
"Dalam Pasal empat UU Pemajuan Kebudayaan secara jelas merupakan bagian dari pembangunan, apa saja kegiatannya semua berbasis kebudayaan," kata Ferdiansyah. Ia juga mendorong agar setiap daerah merumuskan rencana induk kebudayaan dan strategi kebudayaan, agar pembangunan kebudayaan menjadi lebih terarah. 
Ferdiansyah menyoroti sebagian masyarakat mulai mengedepankan budaya asing dan budaya nasional. Ia mencontohkan hal-hal kecil seperti penggunaan bahasa asing yang banyak digunakan, sehingga seharusnya bisa diganti dengan bahasa daerah atau bahasa indonesia. Oleh karena itu ia mengimbau agar masyarakat kembali ke kebudayaan luhur bangsa indonesia, dimulai dengan hal-hal kecil seperti pemakaian bahasa, makanan, tata krama, dan lain-lain. 

REDAKSI | ***