Articles by "Opini"
Tampilkan postingan dengan label Opini. Tampilkan semua postingan
Pendidikan Tak Mengenal Libur
Masa libur sekolah dimanfaatkan sebagian keluarga untuk mengajak putra putrinya berlibur. Terkadang liburan telah direncanakan jauh hari sebelumnya. Berbagai bekal dipersiapkan. Tak terkecuali bekal keuangan yang memadai. Bagi yang tak bepergian berlibur, mungkin akan menghabiskan waktunya di rumah. 

Ada yang bermalas-malasan. Bangun tidur kesiangan dan berbagi bentuk lainnya. Semuanya seakan menandakan bahwa masa libur lepas dari pernak-pernik pendidikan.

Pendidikan sebenarnya tidak mengenal masa libur. Pendidikan melekat pada setiap diri sepanjang nafas masih berhembus. Pendidikan sering kali direduksi pada pendidikan di sekolah saja. Perlu diingat kembali bahwa pendidikan meliputi pendidikan formal yakni persekolahan, pendidikan non-formal yang membekali pesertanya dengan pengetahuan dan keterampilan khusus, serta pendidikan informal yang dilangsungkan dalam keluarga dan lingkungan.

Peran pendidikan informal juga sangatlah penting. Ia merupakan pendidikan utama sekaligus penyangga pendidikan lainnya. Penanaman karakter yang tengah digiatkan di persekolahan haruslah didukung pula dalam keluarga dan masyarakat termasuk di masa libur.

BACA JUGA:
Karakter disiplin, religius, peduli lingkungan dan lainnya yang ditanamkan selama mengikuti pembelajaran di sekolah tentu penerapannya selama masa libur pun perlu berkesinambungan. Namun saat berwisata dimasa libur, kerab kali kita menemukan tumpukan sampah pengunjung. 

Pembiasaan membuang sampah di tempatnya di sekolah tak lagi diindahkan. Memang terasa aneh. Sampah yang berserakan tersebut tak jarang dari orang-orang bersekolah. Bukankah di sekolah telah diajarkan membuang sampah dengan benar? Menurut penulis, kebiasaan ini dapat menjadi salah satu penanda suksesnya bersekolahnya seseorang. Bukankah segala yang besar dimulai dari yang kecil?

Disiplin waktu yang telah dilatihkan dalam persekolahan janganlah sampai terbengkalai karena adanya pembiaran selama masa libur. Anak dibiarkan bermain game seharian tanpa mengindahkan jadwal ibadahnya. Tugas-tugas mandirinya terlewatkan. Pembiaran indisipliner inilah yang membuat anak merasa berat untuk kembali bersekolah, khususnya di hari-hari pertama masuk kembali sekolah.

Sebaliknya, guru pun harus berupaya menciptakan suasan pembelajaran yang menyenangkan layaknya berlibur. Sebagaimana dikemukakan diatas bahwa berlibur menjadi asyik karena dimulai dari perencanaan yang matang, bekal yang cukup dan pengalaman-pengalaman baru. Pembelajaran pun selayaknya demikian. 

Selain direncanakan dengan baik, bekal materi yang cukup, juga perlu membawa anak dalam pengalaman belajar yang mengesankan dengan berbagai inovasi kreatif guru yang tentu juga perlu perencanaan. Masa libur dapat pula dimanfaatkan dalam meningkatkan budaya literasi anak. Berbagai hal yang menarik perhatian anak dapat menjadi pemicu berpikir kritis. Berpikir kritis sangat dibutuhkan dalam era informasi digital.

Hal-hal yang menarik perhatian anak dapat pula dituliskan hingga menjadilah tulisan yang menarik untuk dibaca. Menulis menggunakan alat tulis di masa libur mungkin akan kerepotan. Tapi kini penggunaan teknologi informasi yang dibenamkan di gadget dapat memudahkan.

Dengan mengguna kan aplikasi Menemubaling (Menulis dengan mulut membaca dengan telinga) yang dikembangkan Mampuono, Sekjen IGI, menulis dapat semudah berbicara. Perangkat yang dapat diundah secara gratis pada playstore tersebut, dapat dengan mudah digunakan. Dengan membiasakan menulis, termasuk dimasa libur sekolah, maka budaya literasi dapat terus tumbuh subur. Pendidikan anak pun tidaklah libur.

Artikel ini merupakan opini yang ditulis oleh Musakkir, Ketua Ikatan Guru Indonesia Kabupaten Tana Tidung dan merupakan salah satu penulis aktif di Jaringan Media Radio Nasional.

EDITOR : ANDRI ARIANTO
Batam, Gubernur Kepulauan Riau H Nurdin Basirun mengatakan derajat kesehatan masyarakat Kepri dari tahun ke tahun terus menunjukkan peningkatan. Angka harapan itu terus meningkat. Indikator-indikator pembangunan kesehatan yang ditetapkan pemerintah dapat dicapai dengan baik.
“Kita berkewajiban memberikan pelayanan yang terbaik bagi masyarakat,” kata Nurdin saat menerima kunjungan kerja Komite III DPD RI ke Kepri, di Graha Kepri Batam, Senin (2/4).
Menurut Nurdin, pembangunan kesehatan merupakan salah satu bidang prioritas di Kepri. Salah satu indikator yang dipergunakan dalam mengukur masyarakat yang sejahtera adalah derajat kesehatannya.
Pemprov Kepri memang memiliki misi untuk meningkatkan derajat kesehatan, kesetaraan gender, pemberdayaan masyarakat penanganan kemiskinan dan penyandang  masalah kesejahteraan sosial. Saat ini menurut Nurdin, beberapa indikator yang masih perlu mendapat perhatian serius antara lain terkait angkat kematian ibu, angka kematian bayi, dan angka kematian anak. Untuk mengatasi hal-hal tersebut, kata Nurdin dibutuhkan langkah-langkah strategi dan upaya optimal.
Nurdin menegaskan, dia selalu memerintahkan Kadis Kesehatan Kepri, Tjetjep Yudiana untuk melaporkan segala kegiatan tentang kesehatan di Kepri. “Jangan hanya memberi laporan ABS,” Katanya.
“Saya lebih senang diberi laporan ada kasus penyakit atau kekurangan gizi di Kepri sesuai keadaan. Daripada saya dilaporkan semua beres pak! Tapi pada kenyataannya banyak kasus di daerah. Malu saya jika berkunjung ke daerah,” kata Nurdin.
Kunjungan DPD RI memang dalam rangka inventarisasi materi tentang RUU Kebidanan. Pada kesempatan itu, Nurdin mengharapkan peran  bidan bisa lebih maksimal.  Sebagai pelayanan kesehatan, bidan memiliki peran tugas yang tidak mudah. Utamanya dalam memberikan pelayanan kesehatan pada ibu dan anak.
Nurdin memastikan, tugas yang tidak mudah tersebut harus bisa dilaksanakan dengan baik.  Menurut Nurdin, adanya penyusunan RUU ini  kebidanan ini diharapkan dapat menjadi acuan dalam mengoptimalkan peran bidan dalam pembagunan kesehatan.
Hadir pada kesempatan tersebut dari DPD dengan Ketua Tim H Dedi Iskandar Batubara, Muhammad Nabil, Emikia Contessa, Bahar Buasan, H Rafli, Abdul  Aziz dan Muhammad Rahman.
Sementara dari Kepri hadir Asisten Ekbang Syamsul Bahrum, Kadis Kesehatan Tjetjep Yudiana, Karo Hukum Pemprov Kepri Heri Mokhrizal, Karo Humas Protokol dan Penghubung Nilwan, Ketua Ikatan Bidan Indonesia Provinsi Kepri Yulianti, Direktur RSUD Embung Fatimah Drg Ani Dewiyana dan Asisten Ekbang Pemko Batam Gintoyono.
S
Saat kampanye Pilpres 2014 lalu Capres Jokowi berjanji secara lisan bidang politik luar negeri (PLN) terbatas:  "Mendukung kemerdekaan dan mendirikan KBRI di Palestina".  Namun, hingga kini Jokowi baru mendirikan Konsulat Kehormatan RI, bukan  KBRI, di Ramalah.

Selanjutnya, Jokowi janji akan persulit investasi asing dan  mengoptimalkan kemampuan rakyat. Janji ini kemudian diingkari, terbukti Jokowi justru menjanjikan kemudahan perizinan seperti di forum APEC,  G20 dan lain-lain.

Janji kampanye ini dipertegas pada Janji Tertulis dalam Visi,Missi dan Program Kerja dgn konsep Nawa Cita. Disebutkan, akan  menghadirkan negara untuk melindungi bangsa dan memberikan rasa aman kepada seluruh warga negara, melalui PLN bebas aktif, keamanan nasional yang terpercaya, pembangunan pertahanan dilandasi kepentingan nasional, dan memperkuat jati diri sebagai negara maritim.

PLN akan digunakan  sebagai usaha untuk meningkatkan ketahanan nasional dan mewujudkan agenda pembangunan.

Setelah menjabat sbg Presiden, Jokowi memutuskan sasaran PLN  Indonesia yakni terwujudnya kepemimpinan dan peran Indonesia dlm kerjasama internasional.

Berdasarkan sasaran itu ditetapkan Agenda 2015-2019 yakni:  

1.  Penanganan perbatasan;
2.  Pemantapan peran Indonesia di ASEAN; 3.Penguatan diplomasi ekonomi;
4.  Peningkatan kualitas perlindungan hak dan keselamatan WNI/BHI di luar negeri khususnya  
     perlindungan terhadap TKI; dan,
5.  Peran Indonesia dlm kerjasama bilateral, regional dan global (RPJMN 2014-2019).

Kini Jokowi telah lebih 3 tahun sebagai  Presiden. Berhasilkah  Jokowi mencapai sasaran dan agenda tsb?

Satu parameter kinerja Jokowi urus PLN adalah  penanganan masalah  perbatasan  Indonesia dgn 10 negara tetangga. Parameter ini jelas menunjukkan Jokowi masih gagal dan berkinerja buruk.  Tidak ada satupun tercapai.

Indonesia memiliki perbatasan maritim dgn 10 negara: India, Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, Filipina, Palau, Papua Nugini, Australia, Timor Leste, serta perbatasan darat dgn 3 negara, yaitu Papua Nugini, Malaysia dan Timor Leste. Di  era Presiden SBY telah selesai  penetapan batas darat dgn Papua, sementara  dgn Timor Leste dan Malaysia hanya  sebagian besar

Parameter berikutnya adalah pemantapan peran Indonesia di ASEAN. Di kancah ASEAN, kinerja Jokowi tergolong  buruk. PLN Jokowi  masuk ke kancah ASEAN masih urusan ekonomi semata. Tidak masuk urusan politik keamanan.  Padahal di ASEAN sendiri, Indonesia menghadapi tantangan di bidang politik  keamanan seperti konflik di Marawi, Rohingya, Laut China Selatan, dll.  Urusan politik keamanan ini jelas lebih susah utk cari penyelesaian ketimbang urusan ekonomi.

Selain itu, kini terjadi kevakuman kepemimpinan di ASEAN. Sebabnya,  Indonesia sebagai negara dgn  kepemimpinan diakui secara alami kurang mampu merepresentasikan ASEAN dalam forum-forum multilateral.

Jokowi tidak menjadikan ASEAN sebagai pijakan utama dlm PLN. Jokowi tidak menempatkan ASEAN sebagai prioritas dlm PLN  Indonesia. Indonesia tidak lagi berperan sebagai pemimpin di Asia Tenggara. Lebih  memprioritaskan urusan kepentingan investasi, utang dan infrastruktur.

Parameter lanjut yakni penguatan diplomasi ekonomi, difokuskan utk mendukung penghapusan non-tariff barrier dlm perdagangan pasar utama dan pembukaan pasar prospektif, al: di kawasan Eropa Timur, Eropa Tengah, Afrika Utara, Afrika Barat, Afrika Selatan, Sub-Sahara Afrika, Amerika Utara, Amerika Latin dan Asia.

Diplomasi ekonomi ini dipraktekkan Jokowi pd KTT APEC di Beijing (2015), KTT ASEAN ke-25 di Myanmar, KTT G20 di Australia, Forum G20 di RRC (2016). Jokowi memanfaatkan forum2 ini utk menggalang kerjasama ekonomi, terutama infrastruktur.

Ada tiga tujuan diplomasi ekonomi Jikowi: 1. Menarik investasi asing; 2. Membuka pasar luar negeri; 3. Mendatangkan touris asing. Parameter ini belum tercapai sukses.

Parameter lain yakni peningkatan kualitas perlindungan hak dan keselamatan WNI/BHI di luar negeri. Khusus parameter ini bisa membantu penilaian kesuksesan Jokowi dan baik. Berdasarkan Laporan 3 Tahun Pemerintahan Jokowi-JK", Kemlu (Kementerian Luar Negeri)  mencatat telah menyelesaikan 27.341 kasus; membebaskan 144 WNI dari ancaman hukuman nati; melakukan repatriasi 181.942 WNI bermasalah termasuk overstayers; evakuasi 16.426 WNI dari berbagai wilayah konflik,perang dan bencana akan; dan, membebaskan 31 sandera WNI dari Filipina dan Somalia. Juga mengembalikan hak finansial WNI di luar negeri Rp. 388 miliar melalui pendampingan hukum oleh Perwakilan.

Data, fakta dan angka ini diklaim Menlu sebagai capaian 3 tahun PLN Indonesia era Jokowi. Namun, tidak ada  data,  fakta dan angka maraknya (lebih 3 kali) penculikan WNI di perairan Sabah, Malaysia dan Sulu, Filipina Selatan. 

Parameter terakhir yakni peran Indonesia dlm kerjasama bilateral, regional dan global. Dari parameter ini ada kemajuan Jokowi.  Ada partisipasi dalam forum APEC, KTT ASEAN, dan KTT G-20.

Tapi, Jokowi   menggunakan forum-forum tsb untuk menarik investasi asing, membuka pasar luar negeri dan mengundang lebih banyak turis asing ke Tanah Air. Jokowi meminta  perwakilan RI di luar negeri  ikut memasarkan produk Indonesia.

Terkesan Jokowi selama ini tidak memprioritaskan PLN,  lebih menaruh perhatian urusan ekonomi:  investasi, utang dan  infrastruktur. Fakta lain,  Jokowi lebih utamakan  urusan ekonomi   di dalam  sejumlah perundingan  penting, al:  Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA), Free Trade Agreement (FTA), Preferential Trade Agreement (PTA), Bilateral Investment Treaty (BIT).

Dari politik keamanan, peran Indonesia memudar dalam mewujudkan perdamaian dunia seperti diamanatkan Pembukaan UUD 1945. Pada  alinea I dan alinea IV dijelaskan dasar hukum pelaksanaan PLN  Indonesia.  Indonesia sebagai Negara merdeka dan berdaulat berhak menentukan nasib sendiri serta  mengatur hubungan kerjasama dengan Negara lain.

Pengertian PLN Indonesia terdapat di dalam UU No. 37 Tahun 1999 Pasal 1 ayat (2), yakni kebijakan, sikap dan langkah Presiden Jokowi  diambil dalam melakukan hubungan dengan Negara lain, organisasi internasional dan subyek hukum internasional lain dalam rangka menghadapi masalah internasional guna mencapai tujuan nasional. Berdasarkan konstitusi, Presiden Jokowi harus menerapkan kebijakan luar negeri disebut politik bebas-aktif. Maknanya, Indonesia bebas menentukan sikap berkaitan dengan dunia internasional, tidak memihak kepada salah satu blok. Aktif, maknanya ikut memberikan sumbangan baik dalam bentuk pemikiran maupun menyelesaikan berbagai konflik dan permasalahan dunia. Aktif menunjukan adanya kewajiban Presiden Jokowi  menunaikan amanat UUD 1945 untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Kondisi kinerja Jokowi buruk urus PLN dapat ditunjukkan, kecenderungan menitikberatkan PLN untuk urusan perdagangan dan investasi. Hal akan berisiko pada dimensi keamanan dan politik. Jokowi harus sangat sadar, suatu   negara berpotensi terjebak dalam hubungan  asimetris. Karena itu, Jokowi   harus berhati-hati agar Indonesia tidak bergantung kepada negara lain karena akan merusak ekonomi strategis.

Jokowi
3 kali berturut-turut absen di  Sidang Majelis Umum PBB. Hal ini sungguh buruk   mengingat saat ini Indonesia sedang berjuang menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB.

Di sisi lain, fokus Jokowi dalam mengelola hubungan dengan negara-negara besar seperti Cina, AS dan Jepang bisa berpotensi menjadi bumerang bagi keutuhan NKRI.

Jokowi juga sangat kurang  memelihara hubungan dengan negara-negara tetangga di Kepulauan Pasifik. Padahal  dua tahun terakhir perwakilan negara-negara Pasifik mengangkat issu tentang ketimpangan dan konflik  dialami saudara-saudara mereka di Papua yang dapat memicu perpecahan bangsa atau disintegrasi nasional.

Di sisi peran diplomasi politik, ternyata Jokowi sangat lemah. Sebagai aktor individual sangat kurang  memainkan peran diplomasi politik. Padahal diplomasi politik ini sangat penting untuk  bernegosiasi mewakili kepentingan nasional Indonesia.

Jokowi bukanlah aktor PLN  sehingga lemah   untuk mengangkat nama Indonesia di forum2 internasional. Sementara, peran diplomasi politik lebih banyak diserahkan kepada Menlu, yg tentu saja pengaruhnya lebih rendah.

Artikel ini merupakan opini yang ditulis oleh Muchtar Effendi Harahap, Ketua Tim Studi Network for South East Asian Studies atau disingkat NSEAS dan merupakan penulis aktif di Jaringan Media Radio Nasional.

EDITOR : ANDRI ARIANTO
Kasus Setya Novanto
Batam, RN - Beberapa hari belakangan, publik masih ramai membahas tentang Praperadilan antara KPK versus Setya Novanto (Ketua DPR RI), yang dalam hal ini dimenangkan oleh Setya Novanto. Dimana bunyi putusan tersebut adalah, penetapan status Tersangka terhadap Setya Novanto adalah tidak sah. 

Menjadi menarik karena berbagai macam penafsiran dan pendapat muncul ditengah masyarakat. Ada yang menganggap putusan tersebut sangat melukai rasa keadilan masyarakat, tidak sedikit pula yang menganggap putusan tersebut telah sesuai dengan kaidah yang berlaku. Apapun itu, yang jelas, sebagai masyarakat, kita harus menghormati terhadap putusan yang telah dikeluarkan oleh seorang hakim. 

Dalam hal ini, sebagai seorang akademisi, tentunya menarik bagi saya khususnya, untuk menuangkan pemikiran terkait hal tersebut, dimana pemikiran ini lepas dari segala macam pengaruh dan intervensi. Dengan kata lain, opini ini murni melihat dari sudut keilmuan yang dimiliki secara pribadi dan tentunya dengan melihat kaidah-kaidah yang berlaku.

BACA JUGA:

Sah atau tidaknya penetapan tersangka, masuk dalam objek praperadilan, secara yuridis formal baru muncul setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 21/PUU-XII/2014 yang diajukan permohonannya oleh Bachtiar Abdul Fatah, karyawan PT Chevron Pasific Indonesia. Sejak saat itu, nyaris banyak kejadian setelah seseorang ditetapkan sebagai tersangka, maka akan mengajukan permohonan praperadilan ke Pengadilan Negeri, untuk menguji sah atau tidaknya status tersangka yang disandangnya.

Setya Novanto, yang notabene adalah seorang Ketua DPR RI dan sekaligus sebagai Ketua Umum Golkar, apapun beritanya, maka akan menjadi minat dan perhatian publik untuk mengikuti. Demikian juga ketika permohonan praperadilan yang diajukannya, bahwasanya ia menganggap penetapan tersangka yang ditetapkan oleh KPK adalah tidak sah, dan itu diamini oleh hakim. Maka timbul pertanyaan, bagaimana dengan kelanjutan atas perkara tersebut. Sebagian menganggap berhenti saat itu juga, sebagian lagi kasus tersebut dapat dilakukan penyelidikan dan penyidikan kembali.

Praperadilan tentunya maknanya jauh berbeda dengan peradilan. Dalam dunia peradilan, ketika seseorang telah dinyatakan oleh majelis hakim bersalah atau tidak bersalah, dan putusan tersebut telah incraht, maka sampai kapanpun, kasus tersebut tidak dapat diajukan lagi ke pengadilan. 

Ketika perkara yang sama tersebut oleh penuntut umum diajukan kembali ke pengadilan, maka akan berlaku asas hukum ne bis in idem. Bagaimana dengan praperadilan dalam kasus Setya Novanto? 

Dalam pandangan saya, hakim yang menyatakan bahwa penetapan status tersangka terhadap Setya Novanto yang dilakukan KPK adalah tidak sah, berarti maknanya ada cara, prosedur, dan/atau tindakan KPK ketika menetapkan tersangka tersebut, mungkin telah bertentangan dengan kaidah hukum, sehingga tindakannya tersebut menjadi tidak sah. Hakim praperadilan dalam putusannya tidak menyatakan bahwa Setya Novanto tidak bersalah dalam kasus yang melilitnya. 

Maka dari itu, dalam pandangan saya, walaupun status tersangkanya telah gugur, hal itu tidak menghilangkan sifat perbuatan pidana dalam kasus tersebut (e-KTP). Dan itu sejalan dengan putusan MK di atas dalam halaman 106, berbunyi:

“... namun demikian perlindungan terhadap hak tersangka tidak kemudian diartikan bahwa tersangka tersebut tidak bersalah dan tidak menggugurkan dugaan adanya tindak pidana, sehingga tetap dapat dilakukan penyidikan kembali sesuai kaidah hukum yang berlaku secara ideal dan benar".

Dari rumusan frase di atas, bahwa boleh saja ada beberapa pihak mengatakan kasus Setya Novanto berhenti dan ditutup, tetapi saya dapat mengatakan bahwa, walaupun telah dimenangkannya Setya Novanto dalam perkara praperadilan tersebut, KPK tetap berwenang melakukan penyidikan kembali dalam kasus yang sama, tentunya dengan memperhatikan kaidah hukum yang benar dan ideal.

Kita melihat dalam rentetan kasus yang sama, dengan terdakwa atas nama Irman dan Sugiharto, membuktikan bahwa dalam kasus tersebut telah ada perbuatan pidana, jadi KPK tinggal mengembangkan dengan melakukan penyidikan kembali, apakah ada peran Setya Novanto dalam kasus tersebut.

Melihat fenomena praperadilan berkaitan dengan sah atau tidaknya penetapan tersangka, sebetulnya saya termasuk pihak yang tidak setuju bahwa sah atau tidaknya penetapan tersangka masuk dalam ranah praperadilan. 

Mengapa? Sebagaimana kita ketahui, ketika seseorang ditetapkan sebagai tersangka, kemudian mengajukan praperadilan, dan hakim praperadilan mengabulkan dalam putusannya. Hal tersebut tidak mengakibatkan imlipkasi serius terhadap kasus yang dihadapinya. Bahwasanya itu adalah salah satu bentuk pengawasan terhadap tindakan penyidik, agar tidak terjadi maladministrasi dan pelanggaran HAM, itu betul. Namun pada dasarnya, setelah putusan tersebut, walaupun kalah, kapanpun penyidik dapat mengangkat kasus tersebut kembali untuk dilakukan penyidikan. Lalu untuk apa status tersangka terhadap kita dinyatakan tidak sah, toh itu tidak menggugurkan perbuatan pidananya, justru sebaliknya, suatu saat nanti, kapanpun itu kita bisa juga dijadikan tersangka kembali dalam kasus yang sama. 

Selain itu, dalam prakteknya, objek sah atau tidak penetapan tersangka, penafsirannya sangat luas sekali. Jika kita menilik beberapa putusan praperadilan, antara yang satu dan yang lainnya sangat multikompleks. Beberapa alasan tidak sahnya penetapan tersangka yang dilakukan oleh KPK antara lain, hakim berpendapat alat buktinya kurang, Penyidik KPK tidak berwenang, tersangka korupsi bukan pejabat negara, korupsi dibawah 1 milyar, dan lain-lain. Ujung-ujungnya, hampir setiap putusan hakim tentang sah atau tidaknya penetapan tersangka, menimbulkan persepsi yang berbeda-beda. Dan imbasnya adalah nama baik hakim yang terkadang mendapat stigma negative di masyarakat.

Penulis adalah Rustam,S.H.,M.H. Kini menjabat sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Riau Kepulauan di Batam.

Oleh : MUCHTAR EFFENDI HARAHAP 
Pengamat politik dari Network for South East Asaian Studies (NSEAS)

Pengkritik  perhutanan Sosial di Pulau Jawa memprediksi  Permen  LHK No P.39 /2017 ttg Perhutanan Sosial di Wilayah Kerja Perum Perhutani  semakin memperburuk tata kelola hutan. Pengkritik dari Jawa Barat ini klaim,  ribuan  petani miskin pemegang IPHPS (Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial) orang tidak mempunyai keahlian khusus di bidang kehutanan. Mereka  menyebabkan kesemrautan pengelolaan hutan negara.

Sesungguhnya prediksi pengkritik ini  salah, mengada-ada, prasangka, apriori, ahistoris dan  tak faktual. Petani miskin di Pulau Jawa Penerima IPHPS takkan memperburuk tata kelola hutan.   Pengkritik  tidak memahami ketentuan  IPHPS.  Pemegang  IPHPS  punya hak dan kewajiban, dan terima  pembinaan dan fasilitasi.

Mengapa petani miskin Penerima IPHPS takkan merusak tata kelola hutan?

Pertama, Pemegang  IPHPS menurut Permen LHK No. P.39:
1. Petani dengan matapencaharian utama mengerjakan lahan secara langsung.
2. Petani penggarap  tidak memiliki lahan atau petani memiliki lahan di bawah atau sama dengan 0,5 Ha.
3. Petani dengan memperhatikan perspektif gender.
4. Pengungsi akibat bencana alam, diutamakan menjadi anggota kelompok.

Pemegang IPHPS sudah terbiasa hidup di bidang kehutanan dan mengerjakan langsung lahan. Sebagai petani menggarap, mereka warganegara tinggal di sekitar atau di dalam  wilayah kerja Perhutani dibuktikan KTP (Kartu Tanda Pengenal) dan NIK (Nomor Induk Kependudukan), atau  telah memiliki riwayat penggarapan dibuktikan dengan surat keterangan dari Ketua Kelompok Masyarakat, Ketua Kelompok Tani atau Koperasi.   Karena itu,  mereka memiliki pengetahuan dan pemahaman khusus di bidang kehutanan. Tingkat pendidikan formal  mereka cenderung rendah. Tetapi, tak berarti tingkat Pengetahuan dan pemahaman khusus di bidang kehutanan rendah juga.

Kedua,  Pemegang IPHPS memiliki hak dan kewajiban. Petani miskin ini  akan bekerja sesuai dengan hak dan kewajiban. Apa kewajiban mereka ?

1. Menjaga arealnya dari perusakan dan pencemaran lingkungan. 2. Memberi tanda batas areal kerjanya.
3. Menyusun rencana pemanfaatan jangka panjang selama 10 (sepuluh) tahun dan jangka pendek selama 1 (satu) tahun.
4. Melakukan penanaman dan pemeliharan di areal kerjanya.
5. Melakukan tata usaha hasil hutan.
6. Mempertahankan fungsi hutan.
7. Melaksanakan fungsi perlindungan.

Kewajiban ini mengharuskan pemegang IPHPS untuk mendukung  meningkatkan tata kelola hutan yang baik.  Takkan  memperburuk Tata Kelola Hutan.

Ketiga, Pemegang IPHPS yang ribuan itu  mendapatkan  "pendampingan". Pasal 9 Permen LHK Nomor 39 tahun 2017 berbunyi,  Pemohon IPHPS dapat menunjuk pendamping LSM  (lembaga swadaya masyarakat) setempat  berbadan hukum. Dalam hal Pemohon IPHPS tidak menunjuk pendamping, maka Pokja PPS (Kelompok Kerja Percepatan Perhutanan Sosial) menunjukkan pendamping  setempat berbadan hukum.

PPS adalah kelompok kerja membantu fasilitasi dan verifikasi kegiatan percepatan perhutanan sosial.

Pendampingan  Pemegang IPHPS membuat  sangat tak mungkin memperburuk tata kelola hutan. Justru,  pendampingan ini membuat tata kelola hutan kian baik.   Pengkritik  mengabaikan  adanya  pendampingan Pemegang IPHPS.

Keempat, ada Monitoring dan Evaluasi (Monev),  tentu saja dapat mengendalikan setiap prilaku  Pemegang IPHPS. Harus laksanakan  kewajiban.

Monitoring dilakukan secara berkala paling sedikit 1 kali setiap 6 bulan. Evaluasi  paling sedikit 1 kali 1 tahun. Monev  oleh Pemerintah,  Direktur Jenderal,  melibatkan Pokja PPS dan Perum Perhutani, dibantu Tim Kerja.

Monev tentu saja mengendalikan  Pemegang IPHPS sehingga tidak memperburuk tata kelola hutan seperti diprediksi Pengkritik.

Kelima, Pemegang IPHPS tidak mungkin memperburuk tata kelola hutan karena Pemerintah melakukan langsung "pembinaan" dan "fasilitasi".  Sesuai Pasal 23 Permen LHK No P.39/ 2017, Direktur Jenderal, Kepala Badan, dan Kepala Dinas sesuai dengan kewenangannya melakukan pembinaan dan fasilitasi pelaksanaan perhutanan sosial. Pembinaan dan fasilitasi ini mencakup kegiatan al.: penandaan batas areal kerja, pemetaan dengan drone , pendampingan, penyuluhan, dukungan bibit, sarana produksi, bimbingan teknis, sekolah lapang, promosi/pemasaaran produk, penelitian dan pengembangan.

Pembinaan dan fasilitasi perhutanan sosial dapat juga diberikan oleh Kementerian/Lembaga, Lembaga keuangan, BUMN/BUMS, dalam rangka program pemberdayaan masyarakat

Pembinaan dan fasilitasi oleh Pemerintah dan lembaga2 negara ini mengarahkan  Pemegang IPHPS meningkatkan tata kelola hutan yang baik, bukan justru memperburuk.

Keenam, Pemerintah memberi sanksi kepada Pemegang IPHPS. Pasal 24 Permen LHK Nomor P.39 menetapkan, dalam hal hasil evaluasi Pemegang IPHPS melakukan pelanggaran berupa pemindahan IPHPS kepada pihak lain dan melakukan manipulasi/pemalsuan data dikenakan sanksi pencabutan izin. Dalam hal hasil evaluasi pemegang IPHPS tidak memenuhi kewajibannya diberikan peringatan 3  kali berturut-turut dalam waktu 1 bulan dan dikenakan sanksi pencabutan izin.

Sanksi ini tentu saja membuat  Pemegang IPHPS takkan  menyimpang dari ketentuan Permen LHK No. P. 39., termasuk kegiatan dan pola tanam yg  diperbolehkan.

Ketujuh, bukti lapangan dapat menyangkal prediksi pengkritik. Pd 6 Nop. 2017, Presiden Jokowi menyerahkan SK IPHPS lebih  1.662 orang di  Desa Dungus,Wings,  Kab.Madiun Jatim. Penerima SK IPHPS berasal dari Kab. Madiun, Kab. Tulung Agung, dan Kab.Tuban. Seluruh Penerima IPHPS petani hutan di sekitar dan di dalam area kerja Perum Perhutani. Mereka sudah terbiasa hidup dan bekerja sebagai petani penggarap di bidang kehutanan.

Adalah keliru Pengkritik mengklaim, ribuan penerima IPHPS tidak mempunyai kemampuan khusus di bidang kehutanan. Persoalan fundamental bagi petani penggarap ini bukan kemampuan khusus, tetapi luas lahan hutan yang bisa dimanfaatkan. Selama ini mereka tanpa lahan atau maksimal 0,5 Ha dgn pendapatan rata2 Rp.500 ribu per bulan/KK. Petani di acara ini mendapatkan dokumen negara sebagai pemanfaatan hutan negara maksimal 2 Ha, disebut SK IPHPS. SK ini payung hukum bagi Petani Penerima utk memanfaatkan lahan tsb selama 35 tahun. Lahan ini bukan di bagi-bagi, tapi dipinjamkan oleh negara. Petani memberikan hasil bersih 30 % kepada perhutani, 70 % sisanya untuk petani tsb.

 Krn itu, tak ada alasan Pengkritik memprediksi ribuan Penerima  IPHPS akan membuat tata kelola hutan tidak baik. Hidup mereka sejak kakek nenek mereka sudah terbiasa di lingkungan kehutanan.

Tujuh   alasan di atas menyangkal penilaian Pengkritik dari Jawa Barat ini. Justru sebaliknya, implementasi Permen LHK No.P39/2017 ini turut meningkatkan kualitas tata kelola hutan di Pulau  Jawa khususnya.